Persimpangan

    Jendela terbuka dan hembusan angin masuk kedalam hingga sumsum tulang belakang. Membuatku menarik selimut agar aku tidak perlu menutup jendela yang terbuka itu. Merasakan pahit nya kenyataan, merasakan banyaknya beban pikiran, menyaksikan tersiksa nya batin. 

    Hanya diam kurasa, tak bisa bergerak. Hanya diam menatap langit-langit itu. Membayangkan kemungkinan terburuk terjadi. Membayangkan setelah ini apa yang akan terjadi. Malam itu menjadi malam yang frustasi. Banyak pikiran terbebani, hanya ada lampu kamar yang menyinari. 

    Esok adalah hari akhir. Esok menjadi penentu jalan hidupku kedepan nya, seharusnya esok menjadi waktu yang membuat melepaskan semua beban dalam diri, menikmati waktu libur ku. 

"Bisa tidak diam!" dalam pikiran ku berteriak, walau ku tau itu hal percuma. 
"Bisa tidak kau marah saja!" dalam pikiran ku bergejolak.
"Bisa tidak kau menangis!" dalam hatiku merintih. 

    Hanya satu yang aku pertimbangkan, untuk apa semua itu? Diam, Marah atau Menangis?. Pilihan ku diam saat ini, tetapi tidak untuk pikiran ku. Pikiran ku berkecamuk mempertimbangkan banyak hal, kemungkinan apa yang terjadi setelah ini

Menanti esok hari hanyalah omong kosong bagi diriku yang sedang merenung malam ini. Aku hanya bisa termenung memikirkan suasana hati. 

"Hei, ayo makan" saut seseorang diluar kamar. 

    Memang sedari pulang tadi, aku langsung masuk ke kamar. Rasanya tak ingin aku meninggalkan ruangan ini, enggan aku berdiri dari kasur ini, atau hanya sekedar membalas panggilan dia.

Brum....

Memecahkan kesepian di kamar, suara paling keras. Memecahkan kesunyian malam

"Ayolah, kamu laparkan?" Suara seseorang yang bahkan sedang tidak ingin aku dengar. 

Aku memutuskan untuk beranjak dari kasur ini, berharap dengan makan semua pikiranku ini hilang. 

Komentar

Rekomendasi untuk kamu baca

Semester 1

Mencium Pipi