Bukan tentang Bunga

                “Kalau kamu tidak bisa merawatnya, tidak usah kamu ambil. Cukup perhatikan dia tumbuh kembang sendiri, dan lihatlah keindahannya” Kata kata ibuku terngiang-ngiang dikepalaku. Sedari tadi aku hanya memandangi bunga yang indah ini. Yang aku temukan secara tak sengaja di tengah perjalananku menuju rumah.

                Kejadian itu terulang lagi hari ini, namun dengan kondisi yang berbeda. Kini, aku berjalan sendiri menuju tempat yang aku sebut rumah. Aku bukan pecinta bunga, aku bahkan tak paham bagaimana cara merawat bunga itu agar tetap indah.

                Ditengah perjalanan ini, ku temukan setangkai bunga yang indah. Sudah lama perjalananku terhenti karena memandangi bunga ini. Warna yang sempurna, berdiri anggun dihamparan tanah merah kecokelatan. Rasa ingin memetiknya muncul dalam hat. Namun apa daya, pengetahuanku belum cukup untuk bisa merawatnya. Lagi pula, aku tidak membawa persiapan untuk membawa bunga indah ini tumbuh.

                Aku lanjutkan perjalananku. Tak jauh aku berjalan. Aku temukan jenis bunga yang sama. Aroma yang tak begitu asing dihidungku, dan kombinasi warna yang tak asing aku lihat. Aku ingat persis setangkai bunga yang baru saja aku tinggalkan. Aku hanya berdiri sebentar,memandanginya dari jauh lalu pergi untuk melanjutkan perjalanan.

                Bunga itu tertiup angin, daunnya melambai kearahku seolah dia ingin aku bawa pulang. Bunga Anggun itu datang hampir disetiap perjalananku. Setiap tanjakan yang aku naiki, setiap turunan yang aku seluncuri, setiap jembatan rapuk yang aku lalui, disudut setiap sudut pandangku hanya ada bunga itu. Berdiri anggun dihamparan luasnya tanah merah kecokelatan. Menjadikanku terus semangat melalui medan jalan yang aku tempuh sejauh ini. Lambang kemenangan, lambang kebahagiaan, lambang kesetiaan dan lambang kerinduanku pada tempat yang aku sebut “rumah”.

                   Akhirnya sampai juga, Masih ku ingat lelah letih perjuanganku menuju tempat ini, rumah. Setiap perjuanganku itu di temani aroma dan warna yang aku lihat sepanjang perjalanan. Aku ceritakan kisah ini pada ibuku. Ibu hanya tersenyum dan berkata, “Jika kamu sudah mencari tau bagaimana cara merawatnya, Sudah waktunya. Kamu bawa bunga itu kesini. Dan berjanjilah, kamu akan merawatnya.” Aku tersenyum lebar bahagia, akhirnya izinnya kudapatkan. Ibu memberikanku Pot dan Skop untuk bekalku membawa bunga indah itu.

                Tugasku sekarang hanya untuk mencari tahu bagaimana cara merawatnya, apa kelemahannya, bagaimana cara dia bisa bertahan dan tumbuh kembang dengan indah, apa saja yang aku butuhkan, apa saja yang harus aku hindarkan, dan apa saja yang harus aku lakukan. Setelah semua informasi aku dapatkan, aku pamit pada ibuku.

Dengan semua pengetahuan yang aku kumpulkan dan bekal yang diberikan ibuku. Aku sudah siap mengambil bunga indah itu. Aku kembali pada jalan yang sama, pada medan yang sama. Anehnya, setiap titik yang aku lewati tidak ada satu tangkai bunga yang aku kenali. Mereka semua sudah berbeda, warnanya sudah berubah, aromanya sudah berbeda.

Dalam perjalanan pulangku yang kecewa. Aku temukan aroma manis bunga kemboja. Warna kuning yang indah itu tumbuh kembang dengan subur di halaman rumah kakek tua. Walau sudah bertransformasi menjadi pohon, namun aroma dan bunganya tak bisa aku lupakan. Pohon itu sama dengan bunga yang aku temukan ketika aku berjuang menuju rumah.

“Itu namanya kecewa” kata ibuku singkat, setelah melihat raut wajahku yang murung sekembalinya aku dari pencarian. “Setelah kamu kembali pulang kesana. Mungkin kamu bisa bertemu dengan karakteristik yang sama, namun bunga yang berbeda.” Aku hanya merenung kecewa. Mengapa aku tidak mengambilnya sedari awal. “Belum jodoh” tambah ibuku singkat.

“Belum Jodoh ya?” akhirnya aku membalas nasihat ibuku. Kata-katanya menusuk, namun ada benarnya juga. Mungkin jika aku tidak fokus pada perjalananku kesini, aku tak akan sampai dengan selamat. Dan aku masih belum cukup pengetahuan tentang bunga itu. Bunga itu hanya akan jadi penghalang.

                3 hari kemudian aku pamit pada ibuku, dan melanjutkan perjalananku menuju tempat lain. “Mungkin bunga itu tidak akan kamu temukan lagi, namun karakteristiknya, aromanya, warnanya masih bisa kamutemukan diperjalananmu yang sekarang. Ibu tunggu kamu membawa bunga yang indah kerumah ini.” Kalimat yang akan aku pegang sepajang perjalanan nanti.

                Berdiri anggun di tengah tanah merah kecokelatan, kelopak putih dengan aksen kuning di sampingnya. Aroma harum semerbak sampai hati. Tak bisa aku lupakan semua kenangan indah sepanjang perjalananku sebelumnya.

Komentar

Rekomendasi untuk kamu baca

Semester 1

Mencium Pipi