Postingan

Menampilkan postingan dari Februari, 2022

Persimpangan

     Jendela terbuka dan hembusan angin masuk kedalam hingga sumsum tulang belakang. Membuatku menarik selimut agar aku tidak perlu menutup jendela yang terbuka itu. Merasakan pahit nya kenyataan, merasakan banyaknya beban pikiran, menyaksikan tersiksa nya batin.      Hanya diam kurasa, tak bisa bergerak. Hanya diam menatap langit-langit itu. Membayangkan kemungkinan terburuk terjadi. Membayangkan setelah ini apa yang akan terjadi. Malam itu menjadi malam yang frustasi. Banyak pikiran terbebani, hanya ada lampu kamar yang menyinari.      Esok adalah hari akhir. Esok menjadi penentu jalan hidupku kedepan nya, seharusnya esok menjadi waktu yang membuat melepaskan semua beban dalam diri, menikmati waktu libur ku.  "Bisa tidak diam!" dalam pikiran ku berteriak, walau ku tau itu hal percuma.  "Bisa tidak kau marah saja!" dalam pikiran ku bergejolak. "Bisa tidak kau menangis!" dalam hatiku merintih.       Hanya satu yang aku pertimbangkan, untuk apa semua itu? D

Kembali.

 "Hei, kau tau. Selama ini wanita yang selalu aku perhatikan adalah kamu" Kataku, di tempat parkir kala itu. Suasana yang hening, menjadi semakin hening setelah aku mengeluarkan bari kalimat tadi. Terasa angin berhembus dari barat, menerbangkan dedaunan yang berada di atas pohon. Semua diam. Hanya terdengar suara kucing yang sedang memanggil pasangannya.  5 Menit berlalu. Aku dan Dia hanya terpaku diam di parkiran, tak segera pulang menaiki motor. Entah apa yang ada dipikiran dia. Apakah menunggu kalimat selanjutnya dariku?  Ini pertamakalinya lagi, setelah 3 tahun aku menahan perasaan ini. Aku tak banyak berharap bahwa aku disukai balik oleh dia. Aku hanya berharap kami tak canggung ketika berbincang.  Diam itu pecah seketika, setelah kunci motorku jatuh dari genganman. Kami berdua tertawa kecil, saling memberi senyuman. Aku masih menunggu apa kalimat yang akan dikeluarkannya.  Kala itu, tidak ada siapa siapa di parkiran. Hanya kami dan kendaraan kami saja. Tak ada yang mend

Rapuh.

Dia rapuh di pojokan sana, sendiri menatap dinding dengan dinginnya. Di sekitarnya tak ada yang peduli, kejadian biasa di dalam ruangan itu. Orang rapuh di pojokan sudah seperti action figure yang rusak. Diam sendiri dan tidak dipedulikan.  Suatu ketika, seseorang datang dan menghempaskan kesunyian di pojok ruang itu. Menyapanya, dan mencoba untuk menarik orang itu dari kesendiriannya. Orang itu menerima dengan tangan terbuka. Menerima semua kebaikannya. Seakan, itulah yang dia inginkan Hari demi hari, wajah rapuh orang itu hilang. Ketika dia sudah bersama teman barunya. Berbincang, bercanda dan tertawa bersama. Ruangan itu kini sudah tidak ada ruang hampa yang hening. Kini ruangan itu sudah di penuhi tawa.  Tak ada satupun orang disana yang sendiri, tak ada lagi orang rapuh. Sampai di satu waktu, orang itu merasa tak lagi sama. Suasana mencekam kembali menghampiri dirinya, jiwanya semakin hari kembali rapuh. Tak mengerti apa yang sedang terjadi, merasakan sakit yang sebelumnya tak ada

Aku Matahari

Malam itu, aku berjalan melewati lapangan luas. Malam itu terasa sangat dingin, entah apa yang aku cari. Aku mencari suasana tenang dimalam itu, mencari kesejukan dari kepanasan batinku. Aku hanya berjalan, langkah demi langkah. Menyusuri desa desa, melihat kanan dan kiri. Hanya ada suara suara kecil berbisik.  Malam itu, malam yang damai bagi diriku yang kacau. Malam itu, menjadikan malam spesial bagi diriku. Aku selalu penarasan, jika dibawah sini yang membuat cahaya adalah manusia itu sendiri. Diatas sana, siapa yang menyinari? Aku palingkan wajahku dari tanah, menengok keatas. Melihat indahnya bulan, indahnya setengah dari cahaya bulan. Aku teringat kembali, mata pelajaran IPA semasa aku sekolah dulu. Aku teringat, bahwasanya bulan mendapatkan cahaya itu dari matahari yang menyinarinya.  Bulan begitu indah dimataku, ingin rasanya aku melihat dia semalaman, sambil berbaring di tengah lapangan luas, mendengarkan bisikan bisikan orang dimalam hari, suara hewan nokturnal, ditemani angi

Pergi?

     Berbaring di tengah luasnya hamparan rumput, sore hari di jepang. Menatap langit biru, dan gumpalan gumpalan awan bersamanya. Melihat dan menerka nerka bentuk dari setiap gumpalan awan, bebek, burung, ayam dan uang.      Hanya aku sendiri, berbaring di luasnya hamparan rumput hijau. Hanya aku dan diriku. Hanya aku dan kesendirianku. Menatap langit menjadi sebuah kebiasaan, dari melupakan sejenak apa yang telah terjadi. Menebak bentuk menjadi pelarian dari semua pikiran.      Langit biru begitu membuatku segar, angin yang datang dari timur menghembuskan rerumputan. Anginya membuatku nyaman berbaring. Lupakanku akan segala galanya.  "OIIIIII" Teriak seseorang.   Aku terbangun dari ketidak sadaranku saat itu, sudah cukup aku rasa melupakan semua jenuhku di rumah. Saatnya pulang, pikirku... "OIIII" Teriaknya lagi.  Meregangkan badan, sambil membalasnya "IYA, ADA APA!?" Teriakku.      Seseorang di pinggir jalan itu, nampaknya tak asing bagiku. Seseorang ya